Pertandingan
melukis semakin hampir. Saya belum lagi membeli alatan untuk melukis.
Saya tidak lagi bersemangat untuk menyertai pertandingan ini. Saya rasakan ini
pertandingan yang berat sebelah. Mana mungkin saya memenangi pertandingan ini
hanya dengan berbekalkan sekeping doa daripada orang-orang berdosa.
Lebih malang lagi, saya bukanlah seorang
yang gemar lukisannya dipamerkan kepada orang-orang yang tidak tahu menilai
sebuah seni agung. Ibarat menyuruh sang suami merasa sakitnya bersalin. Sang
suami bodoh. Mana tahu rasa kesakitan itu. Biarkan isteri saja yang tahu. Yang
sang suami tahu. Bila mahu main. Panggil isterinya. Kalau tidak isterinya.
Panggil kawannya yang kaya. Ajak main FIFA16. Eh. Kita kembali kepada lukisan.
Lukisan yang bagus dan menarik apabila dikomentari oleh tangan-tangan yang
jahat, pasti keagungannya terlindung oleh bodohnya mata yang menilai.
Kebodohan mereka ini tidak bisa dilukiskan.
Kalau pun boleh dilukis pasti lukisan itu telah dijual. Dan duit hasil jualan
itu bolehlah membeli sebatang rokok. Dan fatwa rokok di indonesia adalah
makruh. Makruh sebab ada ulama yang hisap rokok. Kalau ada ulama yang makan
babi. Pasti babi pun makruh juga. Mungkin,saya kata. Bukan betul pun.
Sepanjang menjalani kehidupan yang suram.
Saya pernah beberapa kali menyertai pertandingan melukis. Alhamdulillah. Semua
pertandingan yang saya sertai saya kalah. Ketika itu saya masih dungu. Saya
terlalu mengejar sesuatu yang kompleks dalam lukisan. Saya biarkan orang-orang
buta terus buta. Saya lupa memberikan mereka cahaya atau paling bangsat pun
tangan untuk menuntun mereka melihat lukisan saya.
Pernah suatu ketika seorang
pelukis terkenal tanah air, terkejut dengan lukisan saya. dua hari kemudian dia
mati. Saya tidak tahu sebab apa. Katanya sebab hidap penyakit jantung. Saya
tidak percaya itu. Saya lagi percaya kalau politik dengan rasuah itu
bersaudara.